Rabu, 21 November 2012

Bukan apa-apa, hanya kentut...

Suatu sore menjelang maghrib, di beranda kontrakan temanku, Aku dan Dee duduk di sofa tua berbahan beludru berwarna hijau yang sebenarnya sudah tidak begitu nyaman lagi untuk di duduki. Tapi, kami tidak begitu menghiraukannya, Kami terlalu sibuk berangan-angan, membuat sketsa-sketsa masa depan, dan mengisi balon-balon mimpi kami dengan helium sebanyak mungkin, untuk kemudian kami lepaskan ke udara.

Sekitar 15 menit menjelang adzan Maghrib, suasana menjadi hening, entah apa yang sedang dia pikirkan. Tapi yang jelas, saat itu ada perasaan aneh yang hinggap di perutku, rasa mules dan kembung bercampur menjadi satu. Dan benar saja, suara aneh yang disertai sedikit getaran pada sofa yang kami duduki, tiba-tiba saja terdengar... Tuuuuuuuuutttt... hehe... Kentut tak lagi mampu kutahan, dan langsung melanglang buana, mencari gua-gua hidung untuk dia singgahi. lalu, dengan sedikit ragu, aku menatap wajah Dee, atau lebih tepatnya fokus ke arah hidung, untuk memastikan apakah kentutku juga menyinggahinya?. Perlahan-lahan aku melihat gerakan, kembang... kempis... kembang... kempis... gerakan itu semakin cepat dan semakin cepat lagi, sampai akhirnya Dee berdiri dan meneriakkan sebuah pertanyaan untukku: "Bee...!!! Ngentut???!!!". ternyata benar, Kentutku telah singgah di gua hidungnya. Tentu saja aku tidak mampu menjawab pertanyaanya, karena saat itu, aku benar-benar tidak berdaya melawan tawa yang merasuki otak sampai ke pangkal tenggorokan dan ujung bibirku. Sementara Dee, dia merengut dan berkata: "bau lho Bee...!!!"... Dengan sisa-sisa tawa yang masih terdengar, aku membujuknya untuk kembali duduk di sofa tua ini, dan untunglah dia masih mau menemaniku menikmati sore ini. Tapi, belum lama dia duduk, suara dan bau aneh itu kembali lagi. Sang kentut kembali singgah di hidung Dee, setelah terlebih dahulu singgah di hidungku. Ini tentu saja membuat Dee kembali merengut dan marah. Aku kembali membujuknya mati-matian dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Untunglah, Dia masih mau bertahan menemaniku di sore itu.

Masih dari beranda kontrakan temanku, 7 menit menjelang adzan Maghrib, suasana mulai membaik, aku dan Dee kembali hanyut dalam canda-tawa yang mengiringi kepulangan mentari ke peraduannya. Namun di tengah kesyahduan itu, lagi-lagi, untuk ketiga kalinya, sang kentut kembali terbebas ke udara, menyusul kedua saudaranya yang sudah terlebih dahulu melanglang buana, singgah dari gua hidung yang satu ke gua hidung yang lain. Kali ini Dee benar-benar marah, itu terlihat dari kedua alisnya yang hampir menyatu dan mulutnya yang dimonyongkan. Dengan nada yang cukup tinggi, dia bertanya: "kok ngentut terus sih Bee???" kemudian dilanjutkan dengan omelan: "kalau kentutnya nggak bau, nggak apa-apa, lha ini bau banget!!!, NGGILANI, KEMPROH!!!". Mendengar omelannya, bukannya diam dan mendengarkan, aku malah tertawa semakin keras & Tentu saja ini membuatnya semakin marah. Aku mulai melontarkan kata-kata maaf, sembari memegang tangannya, mencoba menahannya, agar dia tidak beranjak dari sofa lapuk ini. Diantara kata-kata maaf yang kulontarkan dan tawa yang semakin menjadi-jadi, aku mencoba meredakan amarahnya dengan berkata: "Dee, cobalah untuk mengerti, ini adalah gas yang harus dibuang, akan menjadi penyakit kalau ditahan. Kalau masalah bau, itu memang sudah menjadi takdir dan jati diri bagi si kentut. Meskipun memang ada 4 jenis kentut, yaitu: 1. kentut yang nggak berbunyi dan nggak berbau, ini adalah jenis kentut yang sama sekali tidak punya wibawa dan jati diri. 2. kentut yang berbunyi tapi nggak berbau, jenis ini hanya punya jati diri. 3. kentut yang nggak berbunyi tapi berbau, kalau jenis ini hanya punya wibawa. 4. kentut yang berbunyi dan berbau, nah! seperti inilah seharusnya kentut, punya wibawa dan jati diri. Apalah artinya kentut kalau tidak berbau dan tidak berbunyi?? seharusnya Dee bangga, karena kentut yang tadi mampir di hidung Dee, adalah kentut yang punya wibawa dan jati diri". Tapi, semua penjelasanku seolah tidak ada artinya, dia tetap saja hanyut dalam lautan amarahnya, entah sampai kapan...

wahai engkau yang kami sebut Kentut, tidak cukupkah bagimu, kedua gua hidungku untuk kau singgahi? mengapa engkau harus juga singgah di kedua gua hidungnya?...
................................................Fin.................................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar